Miris..!!!, Warga Lima Puluh Pesisir Tinggal di Gubuk Reyot

Ini adalah kisah sedih dan pilu keluarga Sulasno Yusnidar warga Dusun II Nelayan Desa Guntung, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, Kabupaten Batu Bara.

Sulasno Yusnidar tinggal di gubuk reyot berdinding tepas, beratap nipah, menjadi fakta nyata ketidak berdayaan di tengah kemiskinan melanda. 

Sulasno Yusnidar keseharian sebagai ibu rumah tangga tinggal bersama suami dan Lima anak, kini harus tinggal di rumah yang tak layak huni tanpa memiliki penerangan yang stabil.

Dinding yang terbuat dari tepas, banyak juga sudah keropos di sana-sini. Rasanya tinggal menunggu waktu saja gubuk reot itu bakal ambruk. 

Gubuk reyot itu hanya memiliki satu pintu yang terbuat dari papan bekas. Ketika pintu di buka langsung mengarah ke dapur. 

Di bagian dapur juga terdapat satu pintu yang terbuat dari plastik berwarna putih, dan beberapa pakaian yang bergantungan. 

Atap yang terbuat dari anyaman daun nipah membuat tempat berteduh ibu rumah tangga ini kerap basah saat hujan turun. 

Mereka tidur beralasakan lantai papan, tidak ada kasur empuk yang bisa mereka nikmati, anak-anaknya terpaksa tidur di ruang yang sempit di atas lantai tanpa alas yang memadai. 

Dengan kondisi keluarga ini, bukanlah masalah yang bisa dibiarkan begitu saja. Namun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batu Bara segera turun tangan agar mereka tidak terus hidup dalam kesulitan. 

Rumah yang layak huni, akses pendidikan yang memadai, serta fasilitas kesehatan yang memadai dapat memberikan harapan baru bagi mereka. 

Di tengah riuh tepuk tangan menyambut program Sekolah Rakyat yang digaungkan, bagaimana mungkin anak-anak belajar dengan baik jika malamnya harus tidur kedinginan, bagaiman mungkin mereka bisa menyerap ilmu jika paginya di awali dengan menyeka lantai yang lembab, bukan membuka buku. 

Rumah ibu Sulasno Yusnidar merupakan potret telanjang dari realitas yang sering dibungkus rapi dalam laporan tahunan. 

Hal ini di katakan Ramli kepada awak media, Minggu (13/04/2025). 

Ia mengatakan, bahwa ada jarak panjang bukan hanya geografis, tapi juga emosional dan moral antara meja kerja pengambil kebijakan dan lantai papan tempat rakyat miskin berdiri. 

Ironisnya, pembangunan di negeri ini sering kali bersifat kosmetik, kita terlalu sibuk membangun panggung untuk tampil hebat di mata dunia, tapi lupa memperbaiki fondasi sederhana rumah rakyat.

“Bukan berarti pendidikan tidak penting, rumah yang layak adalah persyaratan paling dasar dari semua mimpi. Tanpa itu, Sekolah Rakyat hanya akan jadi ironi, sekolah yang terlalu tinggi untuk di jangkau oleh mereka yang hidup terlalu dekat dengan tanah, ” cetus Ramli. 

Jika negara benar-benar hadir, maka kehadirannya seharusnya tidak hanya dalam bentuk program, tetapi dalam tindakan yang membumi. 

Sebab, sebelum mencerdaskan kehidupan bangsa, alangkah bijaknya jika kita terlebih dahulu memastikan bahwa rakyat punya tempat tinggal yang pantas untuk sekadar hidup.

“Dan sebelum anak-anak bicara tentang masa depan, bukankah mereka berhak merasakan kenyamanan hari ini, ” ungkapnya. 

Kami mendukung program Sekolah Rakyat, tapi lebih dulu rakyatnya diberi rumah yang layak huni, kata Ramli dengan nada yang tak bisa lagi dibedakan antara prihatin dan kesedihan. 

Reporter : Erwin

You may also like